Kebudayaan dan
matrilineal suku minangkabau
Budaya Minangkabau merupakan salah satu dari dua kebudayaan
besar di Nusantara yang sangat menonjol dan berpengaruh. Budaya ini memiliki
sifat egaliter, demokratis, dan sintetik.
Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut
matrilineal terbesar di dunia. Selain itu, etnis ini juga telah menerapkan
sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk
menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum.
Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan,
sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari
tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis. Hampir
separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan.
Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta,
Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya.
Asal usul
Masyarakat Minang merupakan bagian dari masyarakat Deutro
Melayu (Melayu Muda) yang melakukan migrasi dari daratan China Selatan ke pulau
Sumatera sekitar 2.500–2.000 tahun yang lalu. Diperkirakan kelompok masyarakat
ini masuk dari arah timur pulau Sumatera, menyusuri aliran sungai Kampar sampai
ke dataran tinggi yang disebut darek dan menjadi kampung halaman orang
Minangkabau. Pada awalnya penyebutan orang Minang belum dibedakan dengan orang
Melayu, namun sejak abad ke-19, penyebutan Minang dan Melayu mulai dibedakan
melihat budaya matrilineal yang tetap bertahan berbanding patrilineal yang
dianut oleh masyarakat Melayu umumnya.
Adat dan budaya
Matrilineal
Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam
mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan
pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis
keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu), sedangkan
ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan
sebagai tamu dalam keluarga.
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang
istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam
menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum
lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak ibu),
dan penghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan
Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah Nan Gadang (pilar utama rumah). Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun
kaum lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih tetap memegang
otoritas atau memiliki legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.
Matrilineal tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau
sampai sekarang walau hanya diajarkan secara turun temurun dan tidak ada sanksi
adat yang diberikan kepada yang tidak menjalankan sistem kekerabatan tersebut.
Pada setiap individu Minang misalnya, memiliki kecenderungan untuk menyerahkan
harta pusaka—yang seharusnya dibagi kepada setiap anak menurut hukum faraidh
dalam Islam—hanya kepada anak perempuannya. Anak perempuan itu nanti menyerahkan
pula kepada anak perempuannya pula, begitu seterusnya, sehingga Tsuyoshi Kato
dalam disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat
dalam diri orang-orang Minangkabau walau mereka telah menetap di kota-kota di
luar Minang sekalipun.
Bahasa
Bahasa Minangkabau termasuk salah satu anak cabang rumpun
bahasa Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan Bahasa
Minangkabau dengan Bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan
masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan
kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan
bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga
yang menyebut Bahasa Minangkabau merupakan Bahasa Proto-Melayu. Selain itu
dalam masyarakat penutur Bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai
macam dialek bergantung kepada daerahnya masing-masing.
Kesenian
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan
kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun
perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan
tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan
rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring
merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang
piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang
dimainkan oleh talempong dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri
tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Dewasa ini Silek
tidak hanya diajarkan di Minangkabau saja, namun juga telah menyebar ke seluruh
Kepulauan Melayu bahkan hingga ke Eropa dan Amerika. Selain itu, adapula tarian
yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi
dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini juga
terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario.
Selain itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni
berkata-kata. Terdapat tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan
(persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat
lidah, lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora,
dan aforisme. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan
kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik.
Olahraga
Pacuan kuda merupakan olahraga berkuda yang telah lama ada
di nagari-nagari Minang, dan sampai saat ini masih diselenggarakan oleh
masyarakatnya, serta menjadi perlombaan tahunan yang dilaksanakan pada kawasan
yang memiliki lapangan pacuan kuda. Beberapa pertandingan tradisional lainnya
yang masih dilestarikan dan menjadi hiburan bagi masyarakat Minang antara lain
lomba pacu jawi dan pacu itik.
Rumah adat
Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang
biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku
tersebut secara turun temurun. Rumah adat ini dibuat berbentuk empat persegi
panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang. Umumnya berbahan kayu,
dan sepintas kelihatan seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang khas,
menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa disebut gonjong dan dahulunya atap
ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng. Di halaman depan Rumah
Gadang, biasanya didirikan dua sampai enam buah Rangkiang yang digunakan
sebagai tempat penyimpanan padi milik keluarga yang menghuni Rumah Gadang
tersebut.
Hanya kaum perempuan bersama suaminya beserta anak-anak yang
menjadi penghuni Rumah Gadang, sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah
beristri, menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum menikah,
biasanya tidur di surau. Surau biasanya dibangun tidak jauh dari komplek Rumah
Gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai
tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah.
Dalam budaya Minangkabau, tidak semua kawasan boleh
didirikan Rumah Gadang. Hanya pada kawasan yang telah berstatus nagari saja
rumah adat ini boleh ditegakkan. Oleh karenanya di beberapa daerah rantau
Minangkabau seperti Riau, Jambi, Negeri Sembilan, pesisir barat Sumatera Utara
dan Aceh, tidak dijumpai rumah adat bergonjong.
Perkawinan
Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah
satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa peralihan
yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru pelanjut
keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk masuk
lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sementara bagi keluarga pihak
istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas Rumah
Gadang mereka.
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut
baralek, mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang
(meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang
(bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan
hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan
secara Islam yang biasa dilakukan di masjid, sebelum kedua pengantin bersanding
di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di depan penghulu atau
tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti
nama kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru
tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau
sidi (sayyidi) di kawasan pesisir pantai. Sementara itu di kawasan Luhak
Limopuluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.
Persukuan
Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis
dari organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang
fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu
perempat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau,
dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang
mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang,
diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari
satu keturunan nenek moyang yang sama.
Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari
unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta,
dan sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta
pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota
kaum-keluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat
menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama untuk
melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga
yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat
digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang
lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil
setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada
sebuah Rumah Gadang secara bersama-sama.
Nagari
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini
merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada
kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah
nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang
berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku
dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan
Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah
keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau
adalah terdapatnya kompetisi yang konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan
individu untuk mendapatkan status dan prestise. Oleh karenanya setiap kepala
kaum akan berlomba-lomba meningkatkan prestise kaum-keluarganya dengan mencari
kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling
tinggi.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal
dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu
Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari,
Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan
Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian
berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian
berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah
terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut. Selanjutnya sebagai
pusat administrasi nagari tersebut dibangunlah sebuah Balai Adat sekaligus
sebagai tempat pertemuan dalam mengambil keputusan bersama para penghulu di
nagari tersebut.
Sumber :
http://id.wikipedia.org/wiki/Orang_Minang